Thursday, June 10, 2010

Dilema Penguasa Langit

Aku layaknya seorang penikmat alam sejati

Berjalan jauh untuk menemukan matahariku bersinar

Menikmati kehangatan cahayanya dari sela pucuk cemara

Sejauh ini aku berjuang untuk terjaga

Hanya untuk melihatnya lagi

Mentari yang kuyakini akan setia di langit untukku

Bersinar demi mencerahkan hari-hariku

Menghabiskan heliumnya yang walau banyak tetap terbatas

Agar aku slalu dapat merasakan kehadiranya

Aku menyukainya sepenuh hati

Sungguh mencintai sebagaimana ia selalu hadir di tiap tetes embun pagi

Mengagumi bagaimana ia membuatku terjaga

Oleh kecupan hangat yang tersampaikan dengan sinarnya

Di saat siang hari menjelang

Orang lain mulai menghujat sang terik

Dan berpindah memuja sepenuh hati kepada awan

Atas perlindungannya dari si panas mentari

Akupun turut mensyukuri kehadiran awan

Gumpalan yang mampu menyejukkan

Saat ku gerah oleh pantulan ultraviolet menyengat

Menyebalkan, membuatku ingin berteduh

Membuatku ingin berteduh dalam dekapan awan

Merasakan kelembutan teksturnya

Mencicipi halus bentuknya

Merengkuh dan memiliki keberadaannya

Terkadang saja untuk sesaat

Aku mendambakan memeluk sang awan

Sebab aku tau sebesar apapun aku menggilai matahari

Ada hal yang tak mungkin aku lakukan bersamanya

Seperti aku tak mungkin menyentuhnya

Rasanya nikmat jika aku bisa menggandeng awan turun

Aku membayangkan sensasi kesejukan

Setiap aku di dekat awan

Ia memang indah, eksotis, ajaib, memukau

Dia sempat mencuri hatiku diam-diam

Diam-diam, karena sepertinya dia tak sadar

Bahwa ada kagum dan sayang di hatiku untuknya

Aku ingin sekali memilikinya

Seandainya saja aku bisa menarik hatinya

Sempat sejenak aku berfikir dengan hati

Cemburukah matahari jika aku memuji awan

Aku merasa bersalah dan berdosa telah menghianatinya

Bahwa awan dan mentari ada di dimensi yang sama

Mereka saling melihat

Dan sepertinya mereka saling mengawasi

Tega jadinya bila aku bisa menyukai keduanya bersamaan

Tidak terlalu lama aku menyesali

Semua bimbang musnah saat aku merasakan dengan pikiran

Menyadari mentari tak perlu cemburu terhadap awan

Toh perhatianku ini hanya sesaat

Karena awan pun bukannya kekal

Tak ada kemungkinan bagiku untuk memilikinya

Sebelum puas aku menyentuh, ia akan lenyap

Menjelma menjadi debu dan rintik hujan

Berganti dengan awan yang lainnya

Menyingkir dari pandanganku

Lagipula bukankah pancaran matahari masih sampai di hatiku

Membuat hanya mataku yang memandang awan

Menyaksikannya perlahan bergulir dan menghilang

Tapi hatiku tetap hanya bagi matahari

Sehingga hanya mentari yang kukagumi

Menggunakan matabatinku

Membuat ku kembali meresapi

Memang hanya aku yang mengetahui

Betapa kesetiaan sang surya itu tetap

Hanya posisinya yang berubah perlahan

Tapi hangatnya masih sama

Sungguh aku hanya manusia berperasaan

Yang tetap berpikir dengan logika

Bahwasannya seberapapun pengorbanan yang mentari berikan

Dia tetap bisa kehabisan bahan bakar

Membuat bumi menjelma gulita

Saat itu aku membayangkan sesosok lain

Penghuni langit yang lain

Dia tidak menerangi kehidupanku

Tidak juga menyejukkan hatiku

Ia hanya berdiam di sana

Menemaniku menghitung waktu

Tadi malam, sebelum mentari tiba dengan harapannya

Mengingat keheningan tadi malam

Dimana hanya aku dan bulan yang saling pandang

Atau mungkin hanya aku yang memandang bulan

Karena bulan sibuk dengan bintang gemerlapnya

Tapi sungguh aku ingat

Sewaktu bintang tiada tampak

Bulan sempat tersenyum kepadaku

Mungkin baginya itu biasa

Bagiku ia menghiasi hatiku, terlebih mataku

Dengan kemilaunya yang tiada menyilaukan

Membuatku betah untuk terus menatapnya

Seperti berbincang dengan hening

Tapi syahdu adanya percakapan kami

Tak ada yang menyadarinya

Namun aku yakin kami ini sehati

Hingga kini aku mengharap

Aku akan bertemu bulan yang sama

Seperti yang semalam memikat hatiku

Walau di hati aku tahu

Sungguh aku tahu

Bahwa bulan telah memiliki bintang

Bahkan berganti dari satu bintang ke bintang yang lain

Yang memang menjadi pasangan sejatinya

Sedangkan matahari slalu setia menyapa dan menghangatkan

Tanpa menuntutku untuk membalas dengan kesetiaan setara

Hari dan malam terus bergulir

Matahari dan bintang silih berganti

Aku setiap waktunya merasa semakin terbebani

Dengan dosaku kepada matahari

Seiring bertambahnya rasa di diri

Tentang kekagumanku terhadap bulan

Aku layaknya seorang penikmat alam sejati

Berjalan jauh untuk menemukan matahariku bersinar

Melalui hari seindah ini bersama sang mentari

Lalu bergegas pulang untuk menikmati malam bergulir

Sembari mengagumi rembulan, semalaman ia memikat hati

Aku meyukai keduanya

Keduanya pangeran langit bagiku

Yang berbeda hanya masa mereka beredar

Aku ingin memiliki keduanya untukku sendiri

Kudapatkan mereka pergi tanpa satupun hadir disini

Jika aku masih tak bisa memilih

Apakah bulan yang mengagumkan

Apakah tetap pada matahari yang setia

Atau justru membiarkan mereka berlalu

Menghilang membawa perasaan di hatiku

Dn justru berbalik mengejar sang awan

Yang telah menghilang entah kemana

Aku heran

Kenapa awan tersebut lagi

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.