Monday, November 8, 2010

tunggu saja di sana

awalnya aku hanya mecoba berjalan. berjalan menuju suatu titik cerah. menuju tempat dimana kamu berdiri. aku yakin aku telah berjalan. sudah kuperhitungkan pula
berapa banyak langkah yg harus kuayunkan untuk dapat sampai ke tempatmu. sekali lagi aku yakin, aku sudah mulai berjalan semenjak lama, tapi kenapa pemandangan di sekeliling tetap itu-itu saja. apakah aku justru hanya diam di tempat. kutengok sejenak ke belakang. ah aku belum melangkah terlalu jauh ternyata, ambang aman hatiku pun masih nampak. lalu saat aku menatap lurus ke depan, agak remang memang, tapi aku yakin, kamu masih berdiri di tempatmu berpijak tadi. tentang apa tujuanmu disana, tentang mau atau tidakkah kamu menunggu aku sampai, aku tidak begitu yakin. ya, aku memang tidak yakin. tapi yang aku tahu, aku harus sanggup sampai di tempatmu. ada sesuatu yang tidak mungkin terselesaikan, atau minimal tersampaikan, tanpa aku bisa mendekat, tanpa aku berbisik. sesuatu itu kian mendesak, dan memaksaku untuk mengubah lenggang langkahku menjadi lebih cepat, lebih cepat, hingga aku sadar bahwa aku ternyata sudah berlari. rasanya cepat sekali, semua semangat dan tekad di dalam sanubariku seperti menghipnotis otakku, menguatkan ototku, membuatku tetap dan terus dan semakin cepat berlari. rasanya tak sabar untuk segera saja kuhabiskan seluruh jarak yang masih tersisa antara aku dan gerbang tempatmu berdiri. detik detik berlalu. oh, sepertinya ini bukan hanya tentang detik. jam kah? hari kah? atau mungkin lebih dari itu. berapa sebenarnya waktu yang telah aku habiskan. mengapa aku tak kunjung bisa melihat jelas tubuh dan wajahmu. memang semakin dekat jarak antara aku dan gerbangmu. tapi buat apa dekat, jika aku tak kunjung bisa berdiri di hadapmu. selama masih ada jarak yang belum terlampaui, semua kedekatan itu sia-sia saja. apa aku hanya bermimpi telah berlari? lalu mengapa rasanya lelah sekali. sungguh lelah sekali. apakah jarak yang kuanggap dekat ini hanya fatamorgana belakang. sesungguhnya hanya jalan yang tak ada ujungnya. sial! kapan aku bisa benar-benar sampai di gerbang mu? dan adakah dirimu berkenan menunggu aku yang belum juga sampai. bagaimana jika tidak? bagaimana jika kau hanya ingin melihat aku berlari, dan kemudian berpaling masuk ke gerbang lain yang lebih jauh, lebih sulit untuk ku gapai. bagaimana? bagaimana dengan diriku? sekelebat pikiran dan spekulasi itu membuatku menghela nafas lalu berhenti seketika. ya aku berhenti seketika. tanpa tenaga. dengan tujuan yang memudar. aku bersimpuh. tidak, aku tidak menangis. aku hanya kesal dan kelelahan. tapi saat aku kembali menatap tegas ke depan, ke gerbang tempat dimana kuharap kamu rela menanti, dan kulihat masih ada sesosok orang yg berdiri tegar -aku memang tidak yakin itu kamu- kekuatanku seperti muncul kembali. dan aku harap kamu benar-benar mau menunggu. sediakan waktumu sebentar lagi untuk menunggu aku sampai. karena walaupun kini langkahku tertatih, namun keyakinanku untuk bisa memeberikan sentuhan akhir yang baik pada perjalananku kali ini akan sanggup memotivasi diriku untuk sampai. jadi tolong jangan beranjak barang satu jengkalpun dari tempatmu berdiri, karena sebentar lagi -hanya butuh waktu sekedipan matamu- aku akan mampu sampai di tempat tujuanku, kamu...